Marzuki
Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Pase
PERUBAHAN iklim membawa kita pada paradigma baru yang membicarakan permasalahan tentang lingkungan hidup. Seolah-olah kita lupa, perubahan iklim merupakan akumulasi dampak dari model pembangunan yang dilakukan sepanjang sejarah peradaban manusia. Model pembangunan yang tidak berkelanjutan, pola produksi dan konsumsi yang hanya mementingkan keuntungan, serta pengelolaan sumber daya alam yang cenderung eksploitatif menjadi embrio masalah yang saat ini dikenal dengan perubahan iklim.
Bagi sebagian besar masyarakat di Aceh banyak yang kurang mengenal istilah perubahan iklim. Tapi penuturan orang kampung, mereka mengenali bahwa alam berubah, dari waktu ke waktu. Awalnya mereka mengeluhkan tentang cuaca tak menentu. Saat harusnya sudah turun hujan justru masih kemarau panjang atau sebaliknya. Umumnya petani di Aceh tidak asing lagi dengan istilah keuneunong. Biasanya saat keunong sa terjadi musim hujan justru tidak turun hujan.
Begitu juga nelayan tradisional. Mereka berjuang melawan gelombang dan cuaca yang tidak ramah untuk menangkap ikan. Mereka memperkirakan awal datangnya musim angin barat dan angin timur dengan cara membaca posisi bintang yang berbentuk ikan pari. Biasanya musim barat berlangsung pada saat kepala bintang pari mengarah ke atas utara. Musim angin timur berlangsung ketika bintang pari menghadap ke selatan. Namun kini posisi bintang tidak lagi dapat dijadikan patokan. Menurut nelayan, sejak beberapa tahun terakhir ini mereka merasakan perhitungan tersebut sudah tidak menentu lagi.
Saat ini pergeseran musim sungguh tidak bisa ditebak lagi. Bahkan terkadang bisa sangat ekstrim. Kombinasi curah hujan yang tinggi dan pendek serta kemarau panjang, sering dirasakan sejak beberapa tahun terakhir ini.
Menurut para ahli yang tergabung dalam lembaga internasional yang bernama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), perubahan ini terjadi akibat pemanasan global atau kenaikan suhu bumi yang terjadi di seluruh dunia. Penyebab ini disumbangkan oleh kerusakan hutan (deforestasi), penggunaan bahan bakar minyak, gas dan batu bara, polusi industri dan rumah tangga.
Sebenarnya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia tidak lepas dari peran negara maju. Salah satu contoh, permintaan Eropa akan minyak sawit untuk kebutuhan mereka sebagai bahan bakar alternatif yang dinilai ramah lingkungan dan bisa memenuhi komitmen Protokol Kyoto terkait pengurangan emisi. Krisis energi dunia saat ini mendorong pemerintah terus memperluas perkebunan sawit dengan alasan memenuhi kebutuhan bahan baku biofuel. Kebijakan ini mendorong deforestasi (Kerusakan) hutan yang sebenarnya menyumbang emisi sebagai akibat perubahan pemanfaatan lahan.
Factor kerusakan hutan sebagai penyumbang emisi inilah yang kemudian muncul ide baru dalam kerangka negosiasi mitigasi perubahan iklim sekaligus menjawab persoalan dari kerusakan hutan yang sekarang kita kenal dengan istilah REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation), yang lahir dari keputusan Konferensi Perubahan Iklim PBB, United Nations Framework Climate Change Conference (UNFCCC) pada 2007 di Bali.
Apa sebenarnya itu REDD? Bagaimana mekanisme pelaksanaanya dan resiko bagi masyarakat lokal sekitar hutan. Lalu siapa yang diuntungkan, dan banyak lagi pertanyaan yang muncul? .
Secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian insentif atau dana kompensasi kepada negara-negara yang berkeinginan dan mampu mengurangi emisi dari kerusakan hutan.
Disini negara-negara industri yang merupakan penyumbang terbesar dari pelepasan emisi karbon, memberikan sejumlah dana kepada negara yang masih memiliki hutan seperti Aceh, Jambi, Kalimantan dan Papua , Brazil, Afrika Selatan sebagai negara atau daerah calon yang menerima kompensasi karbon. Jadi REDD didorong agar menjadi skema untuk mengurangi udara kotor yang di hasil negara-negara besar, sementara negera berkembang di wajibkan untuk menyediakan udara bersih dengan hutan yang dimilikinya.
Memang enak menjadi orang kaya. Semua masalah bisa diatur dengan uang. Itulah bahasa sederhana prinsip utama offset dalam konteks REDD. Jelas sudah negara pemilik hutan menjadi Tukang Sapu (cleaning service) , sementara industri-industri di negara maju di legalkan untuk melakukan pencemaran lingkungan.
Barangkali tidak hanya masyarakat, pemerintah kabupaten pun tidak banyak tahu mengenai REDD. Yang mereka tahu hanya, ada bantuan dari pihak asing jika hutan kita tidak diganggu, itu saja. Atau memang pura-pura tidak tahu?
Dalam konteks ini lebih ironis lagi definisi hutan menurut FAO yang kemudian digunakan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) adalah perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) bisa dikelompokkan sebagai hutan. Padahal kenyataannya, perkebunan sawit dan HTI dapat menghancurkan keberadaan hutan alam yang tersisa di Indonesia. Lebih dikhawatirkan lagi jika keduanya juga mendapat kompensasi dana menurut REDD.
Mekanisme REDD dan Politik Dagang Angin
Pembayaran kompensasi atas upaya menjaga, menanam dan tidak menebang hutan masih terus dibicarakan dalam mekanisme REDD. Meskipun masih belum ada keputusan resmi dari PBB, namun dari berbagai usulan yang ada, terdapat kecenderungan agar udara bersih yang disediakan oleh hutan bisa diperjualbelikan. Dengan menjadi barang ekonomi, uang REDD akan bisa diperoleh lebih banyak karena transaksi jual beli menyediakan banyak uang. Transaksi inilah yang menjadi awal diskusi perdagangan karbon melalui pasar. Mekanisme pasar ini sudah berkembang tanpa menunggu keputusan resmi PBB itu sendiri.
Proyek REDD Aceh
Dalam pertemuan forum Governors’ Climate Change (GCF) Task Force Meeting di Banda Aceh, Aceh menawarkan tiga wilayah andalannya sebagai wilayah penghasil karbon yang dinilai cukup berperan penting dalam pengurangan emisi yang diproduksi negara-negara maju. Ketiga wilayah tersebut adalah kawasan Ulu Masen, Leuser dan Rawa Tripa.
Bagi sebagian besar masyarakat di Aceh banyak yang kurang mengenal istilah perubahan iklim. Tapi penuturan orang kampung, mereka mengenali bahwa alam berubah, dari waktu ke waktu. Awalnya mereka mengeluhkan tentang cuaca tak menentu. Saat harusnya sudah turun hujan justru masih kemarau panjang atau sebaliknya. Umumnya petani di Aceh tidak asing lagi dengan istilah keuneunong. Biasanya saat keunong sa terjadi musim hujan justru tidak turun hujan.
Begitu juga nelayan tradisional. Mereka berjuang melawan gelombang dan cuaca yang tidak ramah untuk menangkap ikan. Mereka memperkirakan awal datangnya musim angin barat dan angin timur dengan cara membaca posisi bintang yang berbentuk ikan pari. Biasanya musim barat berlangsung pada saat kepala bintang pari mengarah ke atas utara. Musim angin timur berlangsung ketika bintang pari menghadap ke selatan. Namun kini posisi bintang tidak lagi dapat dijadikan patokan. Menurut nelayan, sejak beberapa tahun terakhir ini mereka merasakan perhitungan tersebut sudah tidak menentu lagi.
Saat ini pergeseran musim sungguh tidak bisa ditebak lagi. Bahkan terkadang bisa sangat ekstrim. Kombinasi curah hujan yang tinggi dan pendek serta kemarau panjang, sering dirasakan sejak beberapa tahun terakhir ini.
Menurut para ahli yang tergabung dalam lembaga internasional yang bernama Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), perubahan ini terjadi akibat pemanasan global atau kenaikan suhu bumi yang terjadi di seluruh dunia. Penyebab ini disumbangkan oleh kerusakan hutan (deforestasi), penggunaan bahan bakar minyak, gas dan batu bara, polusi industri dan rumah tangga.
Sebenarnya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia tidak lepas dari peran negara maju. Salah satu contoh, permintaan Eropa akan minyak sawit untuk kebutuhan mereka sebagai bahan bakar alternatif yang dinilai ramah lingkungan dan bisa memenuhi komitmen Protokol Kyoto terkait pengurangan emisi. Krisis energi dunia saat ini mendorong pemerintah terus memperluas perkebunan sawit dengan alasan memenuhi kebutuhan bahan baku biofuel. Kebijakan ini mendorong deforestasi (Kerusakan) hutan yang sebenarnya menyumbang emisi sebagai akibat perubahan pemanfaatan lahan.
Factor kerusakan hutan sebagai penyumbang emisi inilah yang kemudian muncul ide baru dalam kerangka negosiasi mitigasi perubahan iklim sekaligus menjawab persoalan dari kerusakan hutan yang sekarang kita kenal dengan istilah REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation), yang lahir dari keputusan Konferensi Perubahan Iklim PBB, United Nations Framework Climate Change Conference (UNFCCC) pada 2007 di Bali.
Apa sebenarnya itu REDD? Bagaimana mekanisme pelaksanaanya dan resiko bagi masyarakat lokal sekitar hutan. Lalu siapa yang diuntungkan, dan banyak lagi pertanyaan yang muncul? .
Secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian insentif atau dana kompensasi kepada negara-negara yang berkeinginan dan mampu mengurangi emisi dari kerusakan hutan.
Disini negara-negara industri yang merupakan penyumbang terbesar dari pelepasan emisi karbon, memberikan sejumlah dana kepada negara yang masih memiliki hutan seperti Aceh, Jambi, Kalimantan dan Papua , Brazil, Afrika Selatan sebagai negara atau daerah calon yang menerima kompensasi karbon. Jadi REDD didorong agar menjadi skema untuk mengurangi udara kotor yang di hasil negara-negara besar, sementara negera berkembang di wajibkan untuk menyediakan udara bersih dengan hutan yang dimilikinya.
Memang enak menjadi orang kaya. Semua masalah bisa diatur dengan uang. Itulah bahasa sederhana prinsip utama offset dalam konteks REDD. Jelas sudah negara pemilik hutan menjadi Tukang Sapu (cleaning service) , sementara industri-industri di negara maju di legalkan untuk melakukan pencemaran lingkungan.
Barangkali tidak hanya masyarakat, pemerintah kabupaten pun tidak banyak tahu mengenai REDD. Yang mereka tahu hanya, ada bantuan dari pihak asing jika hutan kita tidak diganggu, itu saja. Atau memang pura-pura tidak tahu?
Dalam konteks ini lebih ironis lagi definisi hutan menurut FAO yang kemudian digunakan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) adalah perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) bisa dikelompokkan sebagai hutan. Padahal kenyataannya, perkebunan sawit dan HTI dapat menghancurkan keberadaan hutan alam yang tersisa di Indonesia. Lebih dikhawatirkan lagi jika keduanya juga mendapat kompensasi dana menurut REDD.
Mekanisme REDD dan Politik Dagang Angin
Pembayaran kompensasi atas upaya menjaga, menanam dan tidak menebang hutan masih terus dibicarakan dalam mekanisme REDD. Meskipun masih belum ada keputusan resmi dari PBB, namun dari berbagai usulan yang ada, terdapat kecenderungan agar udara bersih yang disediakan oleh hutan bisa diperjualbelikan. Dengan menjadi barang ekonomi, uang REDD akan bisa diperoleh lebih banyak karena transaksi jual beli menyediakan banyak uang. Transaksi inilah yang menjadi awal diskusi perdagangan karbon melalui pasar. Mekanisme pasar ini sudah berkembang tanpa menunggu keputusan resmi PBB itu sendiri.
Proyek REDD Aceh
Dalam pertemuan forum Governors’ Climate Change (GCF) Task Force Meeting di Banda Aceh, Aceh menawarkan tiga wilayah andalannya sebagai wilayah penghasil karbon yang dinilai cukup berperan penting dalam pengurangan emisi yang diproduksi negara-negara maju. Ketiga wilayah tersebut adalah kawasan Ulu Masen, Leuser dan Rawa Tripa.
Kawasan Ekosistem Leuser Aceh yang jadi sasaran untuk proyek REDD
Dengan mengacu pada rata-rata jumlah karbon per hektar sebesar 188 ton, maka total karbon di kawasan Proyek Ulu Masen yang masih utuh adalah 104.975.816. Jumlah ini jika di tukar ke nilai uang dengan mengambil harga karbon terendah di pasar internasional sebesar 5 USD/ton, maka total jumlah uang dari stok karbon Ulu Masen adalah 524.879.080 USD.
Proyek REDD Ulu Masen merupakan kerja sama antara Pemerintah Aceh, Fauna & Flora International (FFI) dan Carbon Conservation Pty. Ltd, perusahaan Australia. Proyek tersebut mendapat sumber dana senilai US$9 juta dari Merrill Lynch, sebuah bank investasi dan perusahaan perantara saham di AS. Kawasan proyek akan dipantau oleh pengawas kehutanan dan melalui citra satelit.
Saat ini sedikitnya ada tiga kebijakan pemerintah yang menjadi jalan untuk persiapan penerapan REDD, yakni: (1) P. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaran Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, (2) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, (3) Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
Perdagangan karbon tidak hanya menjual udara bersih, tetapi juga berhubungan dengan hak dan kewajiban, serta status hak masyarakat atas kawasan hutan. Skema REDD mengandung resiko ancaman kebebasan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Skema REDD berpotensi menghalangi masyarakat mengumpulkan kayu bakar, berladang, dan menebang untuk kebutuhan sehari-hari. Belum lagi mengenai resiko peningkatan korupsi akibat kucuran dana REDD yang sangat besar, yang kemudian memicu konflik.
Penerapan proyek REDD secara persiapan yang matang, tanpa dimulai dengan proses sosialisasi kepada masyarakat dan pengakuan hak masyarakat adat, akan memperpanjang catatan konflik kehutanan yang ada. Ada hal yang perlu dipikirkan, yakni bagaimana mendorong masyarakat adat/lokal pemilik wilayah sendiri sekaligus secara otonom mengembangkan model pengurangan kerusakan yang berbasis tradisi masyarakat itu sendiri.
Dengan itu, REDD tidak menjadi proyek yang ditawarkan dari luar negeri tapi seharusnya menjadi sesuatu bagian dari kesadaran masyarakat. Pemerintah Aceh sepatutnya sebelum melaksanakan REDD terlebih dahulu merumuskan secara detail dokumen yang menyangkut dengan mekanisme hak kelola, hak masyarakat dan partisipasi masyarakat di semua tahapan, mulai perencanaan, implementasi dan pengawasan. Hal tersebut sangat penting untuk menghindari ”Meu Cho Koloh Ujoeng ” di kemudian hari.
Pernah dimuat di Harian Aceh, Minggu, 23 Mei 2010.
0 komentar:
Post a Comment